Pernahkah Kau Bayangkan, Bayi yang Kau Nantikan, Takkan Hadir dalam Pelukan?

Foto USG pertama dan terakhir

Di antara tiga-empat bulan setelah pernikahan, Allah titipkan sesosok bayi dalam rahimku.  Sebuah hadiah, yang ku nanti dan kujaga dengan sepenuh hati. 

Berawal dengan penuh drama. Kondisi tubuh yang turun drastis sekitar seminggu lebih, hingga tak mampu melakukan apa-apa, dan tak mau makan apa-apa.  Perubahan hormon yang lumayan menguras pikiran dan jiwa. Namun, aku bersyukur, Allah berikan amanah ini kepadaku. 

Setelah menikah, sudah berniat untuk dirumah saja, fulltime wife #apasih, dan sampe kehamilan itu tiba. Berjalan sekitar tiga bulanan masa kehamilan, ada bercak-bercak merah, seperti awal-awal ketika datang bulan. Aku mulai khawatir dan panik. Aku mulai konsultasi via daring oleh bidanku, dan juga tanya-tanya temenku yang sudah memiliki anak, apakah bercak ketika hamil kondisi normal atau tidak. Hasilnya, Bidan dan beberapa teman berpendapat, bahwa itu kondisi yang normal, mungkin hanya kelelahan. Namun, ada teman yang menyarankan untuk pakai pembalut, biar intensitas bercaknya bisa dilihat. 

Ternyata benar, makin lama bukan bercak, tapi seperti darah haid. Cuma aku masih berusaha tenang, kondisinya saat itu sudah siang. Aku coba komunikasi dengan suami, dan dia berusaha menenangkan.

Aku juga direkomendasikan untuk USG oleh Bidanku. Karena jadwal USG di bidanku belum ada (karena alatnya ada kalo dokter kandungannya juga ada). Jadi aku berusaha cari USG terdekat, dan Alhamdulillah ada di salah satu bidan dekat rumah, yang selalu sedia USG kapanpun, bahkan 24jam. 

Saya cek kehamilan dan USG. Hasil USG menunjukan, sudah tidak ada janin dalam kandunganku, sontak langsung agak syok. Bidanpun merasa tidak enak melihat ekspresiku yang lumayan sedih. Akhirnya aku diminta untuk test-pack ulang, setelah dilakukan test-pack, hormon janin masih ada dalam tubuh, hasilnya masih dua garis biru.

Karena masih ada tanda-tanda kehidupan di dalam perutku, setelah dicek ulang. Akhirnya aku disarankan untuk cek ke dokter kandung di salah satu rumah sakit. Karena kondisinya saat itu sabtu, yaitu akhir pekan, kemungkinan jadwal kontrol dokter spesialis tidak ada, aku disarankan untuk cek ketika hari senin jika sakitnya makin parah, dan diberi surat rujukan untuk cek ke rumah sakit oleh bidan. 

Aku merasa, masih ada harapan yang harus diperjuangkan. Besoknya, mulai merasakan nyeri. Menjelang solat maghrib, rasanya perutku mules yang amat sakit, seperti rasanya mau melahirkan. Aku coba menahan, mungkin ini hanya sakit sementara. 

Aku tetap sholat, karena itu bukan darah haid. Hingga setelah solat isya, aku merasakan sakit yang tidak tertahankan. Saat itu, aku solat berjamaah dengan suami, karena memang sejak maghrib sudah sakit, aku minta suami untuk temani dan solat di rumah. Dan akhirnya, sakit tak tertahankan itu makin menjadi-jadi. Akhirnya, suami langsung pesen grab-car, menuju rumah sakit, saat itu aku ke salah satu RSIA di Depok.

Sesampainya di sana, langsung dicek oleh dokter kandungan, dan hasilnya ternyata memang sudah seharusnya dedek keluar :'). And then, langsung dibuat jadwal kuret. Kalo yang belum tahu kuret itu apa, kuret itu semacam operasi buat keluarin janin yang ada di dalam rahim, atau bisa coba cari-cari di mbah gugel ya.

Rasa mulesnya belum hilang, dan makin parah, tak lama kemudian, aku dikasih obat, dan disuruh minum. Awalnya aku belum tahu, itu fungsi obatnya untuk apa. Finally, aku minum obat itu, dan ternyata jeng-jeng, sakitnya makin parah dong. Aku sampe nangis-nangis jejeritan, jongkok-berdiri, bahkan ke toilet berkali-kali, sudah tak terhitung jumlahnya. Untungnya, saat itu di kamar pasien hanya aku dan satu ibu mau melahirkan. Itu kenapa aku ke toilet berkali-kali, karena aku mau teriak-teriak, tapi takut ganggu ibu disebelah aku yang mau melahirkan, takut makin stres dan keganggu tidurnya. 

Aku hampir seperti tak sadarkan diri, ternyata aku habis minum obat induksi. Aku sampe marah-marah ke suami, tolong minta obat penghilang nyeri, dan ternyata ketika suami minta obat nyeri, yang ada malah dateng salah satu bidan ceramah, "kalo emang mau kuret yang diinduksi rasanya begitu" katanya. Ya Allah, makin sakit aja rasanya, bukan solusi yang didapat, malah ceramah yang datang.

Minum obat dari sebelum jam 12 malem, saat itu. Di kamar mandi ngoceh-ngoceh engga jelas, karena engga tahu, mau berkata apa lagi dengan rasa sakit yang dirasa saat itu. Sampe suami mengira, aku bukan aku (apa hayoooo), karena posisinya kan di kamar mandi gitu ya (coba pikir aja sendiri). 

Menjelang subuh, darah yang keluar makin banyak, dan suami yang takut darah mencoba tegar dengan bantu istrinya yang lagi berlumuran darah saat itu. Terus, tiba-tiba ada yang keluar gitu kecil, agak ngeri juga takut janin, tapi takut pup juga. Akhirnya suami panggil bidan, dan ternyata bener, itu bagian kecil dari janin yang mulai keluar perlahan. Karena pendarahan yang makin parah, akhirnya aku dipindahkan dari ruang rawat inap ke ruang operasi.

Subuh dipindahkan ke ruang operasi, tapi jadwal kuret jam 9 pagi, ternyata masih lamaaaaaa bangeettt...
Mulesnya belum hilang dong, akhirnya di ruang operasi aku ngeluh-ngeluh kesakitan sama bidan dan bahkan ada yang aku omelin juga, muehehe.

Melihat jarum jam, semenit berasa sehari. Menjelang jam 9 pagi, para bidan mulai sibuk mempersiapkan untuk jadwal kuretku. Tak lama kemudian, dokter anastesiku sampai. Ada hal ngeselinnya juga, ternyata dokter kandungan yang mau operasi aku, dia lupa ada jadwal. Ya Allah, butuh berapa lama lagi ini aku menahan rasa sakit? pikirku saat itu. Kira-kira dokternya dateng sejam kemudian, dan aku harus menahan rasa sakit lebih lama lagi.

Akhirnya, masuk ke jadwal kuret. Aku dibius full saat itu. Setelah dokter anastesi menyuntikan obat bius ketubuhku, beberapa saat aku tak sadarkan diri. Aku terbangun, dibangunkan oleh salah satu bidan. Dia memberi tahu, kalau kuretnya sudah selesai. Saat itu aku belum bisa apa-apa. Hanya bisa berkedip dan membuka mata. Semua rasanya masih mati rasa dan belum bisa aku gerakkan, efek dari obat bius tadi.

Sejam lebih kemudian, aku mulai bisa sedikit-sedikit menggerakan tubuh, dan tak lama kemudian aku dipindahkan lagi ke ruang inap. Tapi efek anastesi aku masih rasakan, rasanya mual dan pusing, bahkan seminggu lebih masih terasa. Karena dibius full, jadi emang efeknya lumayan lama, kata dokter.

Setelah kejadian ini, aku merasa agak terpuruk dan selalu sedih, bahkan kadang nangis atau keluar air mata tiba-tiba. Karena aku merasa, kerja kantoran engga, bahkan kerja beratpun engga (ngerasanya ya begitu), ko bisa sampai seperti ini hasilnya. Ternyata kita hanya bisa berencana dan berusaha, sisanya Allah yang tentukan. Aku berusaha untuk tegar dan ikhlas.

Akhirnya aku memutuskan untuk tinggal di rumah orang tua di Tangerang, dan suamiku tetap di Depok. Seminggu lebih aku ke rumah orangtua, untuk menyembuhkan luka batin dan menenangkan pikiran. Setelah kejadian ini, akhirnya aku memutuskan untuk kerja, agar tidak sedih terus-menerus.

Kini, umma ikhlas dengan kepergianmu. 

Sambut Umma dan Baba di Pintu Surga ya, Nak..


- Umul Sidikoh

Komentar

Postingan populer dari blog ini

My Story about openSUSE.Asia Summit 2017 from Tokyo, Japan.

Aku Malu Menjadi Mahasiswa Beastudi Full S1 di STT Nurul Fikri

Makalah “Strategi Dalam Marketing Model 3.0”